CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Minggu, 02 Oktober 2011

Secerca Cahaya

Kubiarkan jemariku menari di atas keyboard membentuk rangkaian kata di percakapan maya. Indah, seindah khayalanku.
Ah…aku tak peduli berjuta pasang mata menatapku heran. Yang penting aku pengen chatting di warnet Bang Amin. Lagu-lagu dari winamp-nya itu terus berbunyi walau sebenarnya, suerrr!!! aku lagi nggak mood.
Yang penting aku lagi pengen ngumpulin kekesalanku di dunia maya, tak peduli hari sudah sore.
“Woii….Ifad….gak pulang?” teriak si Fahri di seberang jalan. Dia satu-satunya teman dekat rumahku.
“Duluan aja deh. Bilang ke orang rumahku, jemput aku setengah jam lagi di sini.” Repot-repot amat. Kerajinan! Aku mo pulang cepat, pulang lama, mo ini-itu, itu kan urusanku. Sama sekali tak merugikannya.
“Lho….Ifad nggak pulang? Dari tadi melototin komputer apa nggak capek?”
“Nggak.”
“Udah hampir maghrib. Emangnya Ifad gak sholat?”
“Sholat? Males…ah! Sholat itu gak boleh kalo gak ikhlas alias terpaksa.
“Lagian, udah tahu mo maghrib, ngapain kamu datang ke sini? Apa kamu nggak sholat?” Aku malah balik bertanya.
“Kalau aku wajar gak sholat, Fad. Lha wong dari dulu aku gak pernah diajarin sholat.”
“Apa coba bedanya sama aku?”
“Ya jela sbeda. Aku berasal dari keluarga yang amburadul, sedangkan kamu berasal dari keluarga alim. Ayahmu ustadz, ibumu…”
“Kamu gak ngerasain, Kawan…! Sambarku kemudian. “Ah…gak usah dibahs lagi deh, males aku!” mungkin dia tak lagi mendengarkanku. Dia telah hanyut dalam khayalannya.
Huh…! Ngapain tuh orang pake bawa-bawa nama Ayahku segala. Tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya tuh anak. Aku anak seorang ustadz, tapi kenapa hidupku hanya kuhabiskan untuk hal-hal yang nggak penting? Entahlah…Ayahku sendiri gak peduli denganku. Dia hanya sibuk menceramahi orang kesana-kemari. Keluarganya? Omong kosong!
Dugaanku meleset. Setelah diinterogasi akhirnya aku diskors dari rumah, gak boleh pulang selama hari. Malangnya, aku harus tetap masuk sekolah tanpa uang saku dan bekal apapun. Bodo’ ah…! Emang gue pikirin?! Yach…anggap aja ini hadiah buatku. Hadiah bahwa aku boleh ninggalin rumah selama 3 hari dengan izin resmi. Itu artinya, apa yang kulakukan ini legal belaka. Kan jadi nggak seperti maling?!
Wow..payah!!
Assalamu’alaikum Lilis, eh Mbak Lilis.” Merah padam juga mukaku. Malu. Sepeda dan tas ransel hitam di keranjangnya telah ada di dekatku. Dengan supit tentunya. Siapa lagi kalau bukan Mbak Lilis, si Manis yang namanya cukup tenar di sekolahku.
“Ngapain di sini, Fad? Nggak pulang?”
“He…he…he…ini mbak, mau mojok dulu.” Jawabku konyol.
Kulirik wajah mbak Lilis dan berharap dia mara dengan jawabanku tadi. Sial…dia cuma senyum dengan tenang bak telaga jernih yang menyejukkan.
“Kalo gitu nanti sore datang ke rumah. Ada ta’lim remaja.”
Wah…ini sih bala beneran.
Ke rumah Mbak Lilis sama dengan pergi ke mesjid. Itu artinya aku akan kehilangan kesempatanku untuk ngobrol di alam maya.
Ah…sial. Entahlah, terserah!!
“Ya mbak, nanti saya ke sana.” Jawabku tak ada pilihan lain.
Yach.., muslimah satu ini dengan kesederhanaannya yang luar biasa membuat makin bersahaja. Walau kadang bikin aku tak mengerti dan geleng-geleng kepala. Gimana tidak, di kemegahan gedung sekolahku, sekian siswa naik turun mobil di depan gerbang. Bahkan bawa motor sendiri-dengan tak dan aksesoris keren yang cocok dengan atribut siswa. Ee…Mbak Lilis malah bawa sepeda dan tas ransel yang gede, mirip orang mau camping. Di sama sekali nggak malu memarkirkan sepedanya di antara jajaran motor. Dan nggak pernag minder dengan teman-temannya yang pada megang hape hightech, padahal ia sama sekali gak punya, boro-boro hightech, tipe doeloe aja gak pernah nyentuh. Ya…bisa disimpulkan kalau Mbak Lilis berekonomi menengah ke bawah.
Ah…entahlah, susah-susah mikirin.
Terserah!! Itu semua urusan Mbak Lilis, urusanku adalah entar sore memenuhi undangannya sambil mencari siasat agar tak kehilangan kesempatanku. Chatting!!
***
Salah siapa kalau selama diskors aku harus tinggal di warnet Bang Amin? Salah siapa coba kalo sekolahku berantakan? Salah siapa kalo aku ikut terjerat dalam kasus kriminal? Salah siapa?!
Jangan kaget kalo aku sekarang jadi berandalan. Karena itulah yang bisa aku lakukan untuk mengisi perutku.
Persetan dengan ibadah. Toh selama ini aku memang tak menjalankan perintahNya. Tak menjadikanNya sebagai teman dalam keruwetan. Temanku adalah chatting, chatting, dan chatting. Apakah itu artinya aku telah mengafirkan diriku sendiri? Ah…entahlah, terlalu jauh pikiranku. Suer, sepulang dari rumah Mbak Lilis aku jadi mikir dan mikir. Ketika dia memapah ibunya yang sudah tua, menyiapkan pacitan di dapur, mengurusi kedua adiknya yang masih kecil-kecil, dan ketika Mbak Lilis menyambut tamunya dnegan ramah. Ketika ada pengemis yang datang ke rumahnya, dia dengan ringannya mengeluarkan selembar uang yang mungkin itulah uang terakhirnya. “Kok bisa?”
Orang secantik dia, orang sesederhana dia, orang setenar dia. Aku sangat terkejut ketika di sekolah ia lupa dengan ulang tahun temen akrbanya. Waktu itu ia lagi sibuk. Ketika dia ingat, di langusng menepuk jidadnya dan beristighfar. Kulihat titik bening penyesalan di sudut matanya yang kebetulan waktu itu aku tengah berada persis disampingnya.
Benar-benar sebuah pancaran cahaya. Cuma aku tak tahu memancar ke mana cahaya itu. Benar kok, itu cahaya, namun entah kenapa aku tak tahu dan tak mengerti dan sehingga…..akupun tak mampu menangkapnya. Akibatnya?! Aku sering bolos sekolah, ngabisin uang hanya untuk nonggok di warnet Bang Amin dan….ah, entahlah. Aku bingung. Aku sangat bertolak belakang dengan Mbak Lilis. Padahala dilihat dari segi latar belakang kehidupan, aku jauh lebih beruntung seharusnya.
***
Masa skorsku udah abis. Tapi kakiku masih berat untuk kembali ke rumah. Ada setitik dendam dalam hatiku. Entah pada siapa, aku tak mampu melukiskannya. Akhirnya aku minta izin sama Bang Amin untuk tetap tinggal di situ selama beberapa hari lagi.
“Fad…kamu gak ikutan seleksi karate hari ini?” Fahri menghampiriku dnegan pakaian lengkap mirip seperti tokoh-tokoh Jepang kalau ingin latihan.
“Tau’ ah…! Lagi gak mood!”
“Ini kesempatan baik lho, Fad. Kau bisa keliling Indonesia kalo kau menang. Btw, masa skors dah abis kan ? Napa gak pulang ke rumah aja?”
“Bukan urusanmu!!” Aku ngeloyor begitu saja.
“Ifad…Fad..tunggu!!” Teriakan Fahri tak kuhiraukan lagi. Aku melangkah cepat tanpa tujuan yang pasti.
Sejenak kupandangi mushollah yang kokoh di belakang sekolah. Ramai. Banyak siswi berkerudung duduk di sana . Rupanya mereka ada ta’lim rutin.
“Mbak Lilis?” aku terkejut dengan apa yang kulihat. Mbak Lilis tengah dudu di antara kerumunan kerudung putih. Dia yang mengisi ta’lim itu.
“Hidup itu apa, aku ini siapa, dan harus bagaimana?” sayu kudengar suaranya.
Hidup? Aku penasaran. Kakiku melangkah mendekati arah suara. Duduk di balik rimbun pohon jambu.
“Hidup ini sementara. Hidup hanyalah suatau masa tertentu yang diberikan oleh Allah kepada kita hamba-Nya. Jadi kita hanya hamba yang diberikan jatah hidup untuk berbakti, untuk beribadah kepadaNya. Cukup sederhana-dan untuk itulah Al Qur’an dan Rasul diturunkan.” Panjang lebar penjelasan itu.
Nyes, sejuk pikiran dan hatiku. Aku tersentuh dan menguaplah kebingunganku.
Bukankah Wama kholaqtul jinna wal insa illaliya’buduun?!
Bodohnya aku, yang Cuma hafal nmun tak paham. Bodohnya aku yang cuma sering mendengar tapi tak mengerti. Bodoh…..bodoh sekali.
Aku tercenung sedemikian lama. Tak lagi ingat bahwa aku tengah uduk di bawah pohon. Dan tak menyadari di hadapanku ada puluhan mata menatapku. Dengan teratur seiring nafasku, bergulir buliran bening.
Semua telah terjawab. Baru kini aku menikmati hidup dengan kenikmatan yang luar biasa dan baru tahu apa artinya hidup.
Alhamdulillah. Aku telah mampu menangkap cahaya itu. Cahaya yang terpancar ke seluruh celah sudut hatiku.
(karya : Desi lilyani, telah di muat pada buletin OASE SMA negeri 1  Lubuk Pakam edisi pertama tahun 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar